Serba-Serbi Menyekolahkan Anak

Beberapa waktu yang lalu, ada teman curhat. Anaknya disuruh pulang oleh pengurus pondok dikarenakan belum lunas spp selama dua bulan. Padahal jarak pondok ke rumah sejauh ratusan kilometer.

Teman ini menyesalkan kebijakan pesantren karena tidak memahami kondisi keuangannya yang sedang morat marit karena usahanya yang sedang mengalami penurunan omzet.

Ini bagaimana sih, lembaga pendidikan Islam kok tega banget. Katanya Islam kok begini, gumamnya.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Saya tertunda 4 tahun untuk wisuda S2 dikarenakan memiliki tunggakan berbagai jenis biaya pendidikan pasca sarjana.

Sebetulnya siapa sih yang salah? Menurut saya tidak ada yang salah.

Lembaga pendidikan Islam juga ingin agar operasional lembaganya berjalan dengan baik. Lembaga pendidikan Islam juga harus membayar gaji guru dan seluruh biaya-biaya tepat waktu.

Lembaga pendidikan Islam juga berupaya memberikan sistem pendidikan yang terbaik dengan sarana dan pra sarana yang memadai dan itu semua modal utamanya adalah keberlangsungan dana yang hampir seluruhnya berasal dari siswa.

Sebagai pengelola lembaga pendidikan Islam, kami juga sangat kelabakan jika pembayaran spp hanya mencapai rata2 60% setiap bulannya, sedangkan yang 40% menunggak pembayaran.

Bahkan ada beberapa siswa yang berhutang sampai 7 juta. Kok bisa? Iya karena hampir setiap bulan tidak membayar spp. Ketika ditagih, orang tuanya bilang “tega amat sih sama teman sendiri”.

Sekitar tahun 2009 saya juga terpaksa menyekolahkan anak pertama dan kedua di sekolah gratis. Hal ini dikarenakan menyekolahkan anak di sekolah swasta cukup memberatkan ketika itu. Tidak masalah, daripada memiliki hutang yang entah kapan kita bisa membayarnya ke sekolah swasta.

Oleh karenanya, di sekolah yang kami kelola sekarang, anak yatim tidak mampu kami bebaskan dari segala pungutan biaya.